Asal usul Wayang Kulit

 Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di pulau Jawa semenjak 1500 SM. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada relief di candi-candi serta di dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain.

Jejeran Wayang


Epos Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari Nusantara, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata.

Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata Indonesia dengan India sudah berubah alur ceritanya. Ramayana dan Mahabarata versi India ceritanya berbeda satu dengan lainnya sedangkan di Indonesia ceritanya menjadi satu kesatuan.

Yang sangat menonjol perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam, diolah sedemikian rupa sehingga terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia.

Di Indonesia walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.

Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan baik secara bentuk dan cara pergelaran wayang purwa maupun isi dan fungsinya.

Pada zaman Demak nilai-nilai yang dianut menyesuaikan dengan zamannya. Bentuk wayang purwa yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang.

Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir (layar), blencong (lampu), debog (yaitu pohon pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang) dan masih banyak lagi.

 Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam.

Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang bergeser dari ritual agama Hindu menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui konstektual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat.

gelaran wayang


Wayang purwa menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak.

Perkembangan wayang purwa semakin berkembang pada era kerajaan-kerajaan Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujanga yang menulis tentang wayang, dan menciptakan wayang-wayang baru.

Para seniman wayang purwa banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang purwa. Begitu juga para seniman dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional wayang purwa ini. 

 Dengan upaya yang tak kunjung henti, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan. Wayang menjadi seni yang bermutu tinggi dengan sebutan ‘adiluhung’. Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.

Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau “shadow play”, melainkan sebagai ‘wewayangane ngaurip’ yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. 

Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi. Wayang juga secara nyata menggambarkan konsepsi hidup “sangkan paraning dumadi”, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form