4 Jenis Rumah Adat Riau sejarah dan Penjelasanya

 Secara umum, bentuk rumah tradisional daerah Riau adalah rumah panggung yang berdiri di atas tiang dengan bangunan persegi panjang. Hal itu untuk menghindari serangan binatang buas dan menghindari banjir.

Di samping itu ada kebiasaan dari masyarakat untuk menyimpan hewan ternak di kolong rumah mereka. Balok penumpu untuk dinding bagian luar melengkung ke arah atas dan terkadang dibubuhi ukiran pada sudut-sudutnya. Dari sejumlah bentuk rumah, semuanya hampir sama, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya identik.

Ada  4 jenis rumah adat Melayu Riau :

1. Rumah Melayu Atap Limas Potong

Limas Potong adalah salah satu bentuk rumah tradisional masyarakat melayu Riau Kepulauan. Rumah Limas Potong  ini berbentuk rumah panggung dan memiliki ciri khas sebagaimana rumah tradisional di Sumatra pada umumnya.



Tinggi rumah ini sekitar 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Dinding rumah terbuat dari susunan papan warna coklat, sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar anjungan depan rumah dicat minyak warna putih. dengan bagian atap menyerupai sebuah limas yang terpotong.

Jenis rumah adat melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Kalau di Riau daratan, rumah tradisionalnya ada Rumah Lontik, dan Rumah Salaso Jatuh Kembar.

Bentuk Rumah Limas Potong

Rumah ini memiliki lima bagian utama, yaitu teras, ruang depan, tengah, belakang (tempat tidur), dan dapur. Bagian depan rumah digunakan untuk memajang foto-foto sejarah tentang rumah limas potong ini, ruang tengah berisi diorama pengantin khas Melayu, dan bagian belakang merupakan sebuah ruangan yang berisi tempat tidur berkelambu yang menyatu dengan dapur.

Peralatan dapur dan makan khas Melayu masih terawat dengan baik dan dipajang di bagian dapur rumah, seperti piring, sendok, panci, tungku kayu, beberapa tempayan, dan peralatan dapur lainnya. Pada zaman dahulu, salah satu tempayan yang berukuran besar itu ditaruh di luar rumah, yaitu di sebelah anak tangga bawah.

Tempayan itu berisi air yang digunakan setiap orang untuk mencuci kaki mereka setiap kali akan masuk ke dalam rumah. Seperti adat Melayu pada umumnya, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah harus melepas sepatu maupun sandal mereka terlebih dahulu, kemudian mencucinya dengan air bersih.

Rumah tradisional ini merupakan milik Haji Sain, salah satu penduduk Batam yang sudah mulai menempati rumah ini sejak November 1959. Rumah ini terletak di Kampung Melayu, RT 01 RW 08, Kel. Batu Besar, Nongsa Tak jauh dari pantai wisata Boneta.

Berada di tengah - tengah kebun kelapa nan rimbun, sangat kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya yang lebih modern. Saat ini, keberadaaan rumah adat limas potong ini menjadi sulit untuk ditemukan di Riau Khususnya di Batam.

Karena alasan itu, rumah milik Haji Sain ini akhirnya dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah kota setempat. Setelah mengalami beberapa renovasi pada bagian rumah tanpa menghilangkan bentuk aslinya rumah adat limas potong ini diresmikan sebagai tempat wisata dan terbuka untuk umum pada November 2011.

Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian,kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak.

Pertimbangan yang paling utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima.

Adapun urutannya adalah :

-       Ular berenang.

-       Meniti riak.

-       Riak meniti kumbang berteduh.

-       Habis utang berganti utang.

-       Hutang lima belum berimbu.

Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.

2. Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar / Balai Selaso Jatuh

Rumah Adat Sealaso Jatuh Kembar adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Rumah Selaso Jatuh Kembar sering disebut juga dengan nama Balai Salaso Jatuh oleh warga melayu Riau.



Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain Balairung Sari, Balai Pengobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain.

Bangunan adat ini hanya tinggal beberapa rumah saja karena didesa-desa sekarang bila ingin melakukan musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangkut keagamaan dilakukan di masjid.

Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat.

Rumah tradisional masyarakat Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.

Asal usul Rumah Selaso Jatuh Kembar

Pada tahun 1971, pemerintah pusat hendak membangun TMII (Taman Mini Indonesia Indah) dan tiap-tiap daerah harus menentukan satu jenis rumah adat untuk dibuatkan Anjungan rumah adat sebagai representasi resmi rumah adat di daerah propinsi tersebut.

Saat itu Gubernur Riau adalah Arifin Ahmad membentuk tim 9 yang terdiri dari budayawan dan pemikir Melayu. Tim 9 ini bertugas untuk mendesain dan membuat Rumah Adat Riau dengan melakukan riset keliling Riau.

Kemudian lahirlah sebuah arsitektur rumah adat Riau dengan nama Selaso Jatuh Kembar. Kemudian Rumah Selaso Jatuh Kembar dipopulerkan dan ditetapkan oleh Gubernur Riau Imam Munandar sebagai Rumah Adat kebudayaan masyarakat Riau.

Komponen Yang Dimiliki Oleh Rumah Selaso Jatuh kembar

Rumah Adat Melayu Riau Selaso Jatuh Kembar saat ini lebih banyak digunakan sebagai Balai Pertemuan, oleh karna itu tidak lagi dapat dikategorikan sebagai rumah tinggal.

Bangunan ini memiliki ciri khas Selasar yang lebih rendah dibandingkan ruang tengah sebagai tempat berkumpul sehingga mendapatkan julukan Selasar yang jatuh (turun), selain itu setiap komponen arsitektural bangunan rumah adat Melayu Riau memiliki nilai yang lebih dari sekedar komponen bangunan saja, tetapi juga memiliki arti dan filosofi yang mendalam.

Rumah Selaso Jatuh Kembar adalah sejenis bangunan berbentuk rumah (dilingkupi dinding, berpintu dan jendela) tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat karena “rumah” ini tidak memiliki serambi atau kamar.

Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo.

Kemudian bentuk rumah mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll, pada bagian belakang terdapat dapur.

Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.

Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut dengan Selaso.

Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.

Dari keragaman bentuk rumah tradisional yang terdapat di Riau, ada kesamaan jenis dan gaya arsitektur.

Dari jenisnya, rumah tradisional masyarakat Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang.

Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll.

Keumuman berikutnya terletak pada arah rumah tradisional masyarakat Riau yang dibangun menghadap ke sungai. Ini terjadi karena masyarakat tardisional Riau menggunakan sungai sebagai sarana transfortasi.

Maka tak heran jika kita akan menemukan banyak perkampungan masyarakat Riau terletak di sepanjang pinggiran sungai Siak, Mandau, Siak Kecil dan pada anak sungai di pedalam lainnya.

Karena tipographi pemukiman masyarakat Riau yang demikian, maka kita akan mendapati pangkalan tempat menambatkan perahu dan juga tempat mandi di muka rumah masing-masing.

Selain itu, hingga tahun 70-an, kampung-kampung tersebut tidak mengenal batas-batas tertentu, seperti halnya perkampungan masyarakat pantai.

Kampung-kampung mereka biasanya dinamai berdasarkan nama sungai atau tumbuhan yang terdapat di sana. Namun hari ini tentunya telah dibuatkan sarana adminstrasi seperti Balai Desa, dll dengan istilah “pemekaran”.

3. Rumah Melayu Lipat Kajang 

Nama rumah melayu Lipat Kajang diambil dari bentuk atap bangunannya. Bangunan in sudah sangat sulit ditemui di perkampungan sebagai tempat tinggal warga. arsitektur rumah ini hanya tinggal terlihat pada bangunan perkantoran yang baru dibangun oleh pemerintah dengan konsep bangunan arsitektur modern.



Rumah Tradisional Melayu Riau Atap Lipat Kajang dengan konsep bangunan arsitektur modern.

Jensi bangunan rumah adat melayu ini dapat dilihat pada rumah godang suku di Kenegerian Sentajo, di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, yang hingga kini masih terpelihara padahal usia bangunan ini sudah mencapai 2,5 abad.

Bentuk Rumah Adat Riau Lipat Kajang

Bentuk bumbung yang curam yang dipanggil “lipat kajang” dapat memudahkan curahan air hujan. Lantai dan dinding rumah yang diperbuat daripada anyaman peluhan adalah untuk memudahkan pengedaran udara dan untuk mengurangkam rasa bahang panas.

Rumah Tradisional Melayu yang awal yang digunakan oleh Melayu dipanggil “dangau” atau “teratak”. Bentuk rumah tradisi ini adalah ringkas. Pada masa dahulu, tiang Rumah Tradisional Melayu adalah bulat dan diperbuat daripada anak-anak pokok kayu.

Seluruh rumah diperbuat dari kayu dan bumbungnya daripada atap nipah atau rumbia. Bentuk Rumah Tradisional Melayu ini telah mengalami perubahan sedikit demi sedikit.

Bahan-bahan yang digunakan seperti kayu, atap nipah, atap rumbia, atap bertam, buluh berayam, pelupuh, kayu buluh atau batang nibung, telah digantikan dengan bahan-bahan lain seperti zing dan genting untuk bumbung dan semen serta batu bata.

4. Rumah Melayu Atap Lontik

Rumah Lontik (lentik) atau sering disebut juga Rumah Lancang atau Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung ke atas dan agak runcing seperti tanduk kerbau, sementara dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip seperti perahu atau lancang.

Rumah ini sebagai simbol penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama. Rumah lontik diduga terpengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.

Tangga rumah lontik ini biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.

Asal Usul Rumah Lontik / Lancang

Rumah Lontik merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lontik, Rumah adat Riau yang satu ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lancang atau Pencalan.

Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.

Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas. Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir.



Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa.

Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.

Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu.

Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung.

Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya. Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan Minangkabau.

Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau.

Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi.

Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form