Upacara Adat Masyarakat Indonesia yang masih di lestarikan sampai sekarang

UPACARA TIWAH - SUKU DAYAK KALIMANTAN

 Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ialah upacara kematian yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak.

Upacara Adat Indonesia


Upacara ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.

Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan Hindu Kaharingan, kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya.

Upacara Adat Indonesia

Upacara Adat Indonesia


Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan Lio/Liau/Liaw. Liau oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut Lewu Liaw atau Lewu Tatau.

Penyelenggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh.

Upacara Tiwah dapat dilakukan sendiri dan dapat juga dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan handep .Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah.

Upacara Adat Indonesia


Upacara Tiwah umumnya dilaksanakan selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, penyelenggaran upacara Tiwah harus berjalan secara sempurna. 

Upacara Tiwah diawali dengan mengumpulkan tulang belulang orang yang sudah meninggal yang kemudian dilanjutkan dalam rentetan upacara Tiwah.


PESTA ADAT ERAU SUKU DAYAK

 Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.

Upacara Adat Indonesia

Upacara Adat Indonesia


Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tinjak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah beliau dewasa beliau diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), kembali diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.

Pelaksanaan upacara Erau dilakukan oleh kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan. 

Setelah Kerajaan berubah menjadi Kesultanan tradisi Erau tetap dilakukan dengan menyesuaikan dengan tata kehidupan yang baru tanpa merubah esensi Etau sebagai perwujudan syukur.

Warga Masyarakat akan datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman dan dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat Keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya.

Pesta Budaya Erau yang kini telah masuk dalam calendar of events pariwisata nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Upacara Adat Indonesia


Pesta Budaya Erau sekaligus menjadi ajang Budaya masyarakat Dayak sebagai wujud Syukur atas panen yang melimpah dan juga menjadi ajang bertemunya seluruh elemen masyarakat Dayak.


TRADISI SEBA SUKU BADUI - BANTEN-JAWA BARAT

 Badui adalah salah satu yang mempunyai keunikan tersendiri, Urang kanekes atau orang Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang menutup diri dari dunia luar. Bahkan, kelompok etnis dari masyarakat adat suku Banten ini mempunyai keyakinan terhadap tabu untuk didokumentasikan, terlebih masyarakat yang tinggal di wilayah Baduy Dalam.

Upacara Adat Indonesia

Upacara Adat Indonesia


Namun ada satu masa di mana masyarakat Baduy berbondong-bondong keluar dari wilayahnya dan menunjukan diri pada dunia, yakni pada saat mereka melaksanakan tradisi Seba.

“Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).

Pada saat "Seba" ribuan orang Baduy baik itu Baduy Luar maupun Baduy Dalam, mereka semua akan melaksanakan perjalanan jauh dari desa Kanekes yang terletak di Kabupaten Lebak menuju ke Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten.

Dengan Filosofi tersebut masyarakat Baduy dipedalaman Lebak yang merayakan tradisi upacara Seba sebagai wujud ungkapan syukur kepada Bapak-bapak gede. Bapak-bapak gede yang dimaksud adalah Bupati dan kepala pemerintahan daerah.

Perayaan adat Seba menurut warga Baduy sendiri merupakan peninggalan leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan satu tahun sekali. Biasanya acara tersebut digelar setelah musim panen ladang huma, tradisi ini sudah berlangsung selama ratusan di Kabupaten Serang.

Inilah sarana komunikasi langsung antara warga Badui dengan pemimpin daerahnya. Para tetua Badui menjadikan acara Seba sebagai sarana silaturahmi dan sekaligus menyampaikan segala sesuatunya kepada pemimpinnya secara langsung.

Upacara Adat Indonesia


Perjalanan yang dilakukan secara bersama sama dengan jalan kaki dengan jarak kisaran 50 km sekali jalan menjadikan acara Seba seperti karnaval tahunan yang unik karena dikuti ratusan warga Badui dalam dan luar 

Sungguh suatu tradisi yang membutuhkan keteguhan hati dan kepatuhan yang luar biasa yang telah dilakukan masyarakat Badui dalam menunjukan rasa syukurnya.


UPACARA ADAT KEBO KEBOAN - BANYUWANGI-JATIM

 Upacara kebo-keboan  adalah festival syukuran budaya untuk merayakan kesuksesan panen. Ini juga merupakan momen untuk meminta pada Tuhan agar sawah diberi kesuburan dan kemampuan untuk menghasilkan panen yang berkualitas baik di tahun-tahun berikutnya.

Upacara Adat Indonesia


Rangkaian upacara adat tradisional kebo-keboan ini sebenarnya telah dimulai sejak satu minggu sebelumnya ketika orang berkumpul untuk  berdoa di makam mbah Buyut Karti, leluhur yang memulai tradisi ini 300 tahun yang lalu. 

Upacara yang dilakukan, pada bulan Suro menurut penanggalan Jawa, masyarakat akan menggelar upacara berpura-pura seperti kerbau air, atau "Kebo-keboan" dalam bahasa Jawa. Mereka akan melukis wajah dan tubuh mereka dengan warna hitam, memakai lonceng kerbau dari bahan kayu pada leher mereka yang disebut"kelunthung kayu" dengan gelang lonceng yang dililitkan di tangan dan kaki sehingga menyerupai seekor kerbau. 

Setiap peniru akan melakukan ritual ini dengan dan berperan menjadi kerbau, termasuk membajak tanah, menanam, dan menyirami hasil panen.  Warga pun bekerjasama untuk mengubah desa menjadi sawah, dengan dihiasi dengan pohon pisang, padang rumput, dan tanaman lainnya agar desa terlihat seperti sawah yang sebenarnya.

Upacara Adat Indonesia

Upacara Adat Indonesia

 

Sepanjang festival, jalanan akan ditutupi tanaman dan rumput yang disiapkan oleh para peserta.

Ritual tersebut diawali dengan penyajian 12 tumpeng beserta ayam dan dilengkapi dengan 5 porsi “jenang Sengkolo”, bubur manis tradisional dan 7 porsi “jenang suro”. 

Inilah pesta adat masyarakat Banyuwangi atau Blambangan atau masyarakat Osing yang masih hidup sampai sekarang dan lestari.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form